- UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab I Pasal 1 ayat 15.
Perusahaan
peternakan adalah orang perorangan atau korporasi, baik yang berbentuk badan
hukum maupun yang bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan alm
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mengelola usaha peternakan
dengan kriteria dan skala tertentu.
2.
UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab VI Pasal 62.
(1)
Pemerintah daerah kabupaten/kota wajib memiliki rumah potong hewan yang
memenuhi persyaratan teknis.
(2)
Rumah potong hewan yang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diusahakan
oleh setiap orang setelah memiliki izin usaha dari bupati/walikota.
(3)
Usaha rumah potong hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan
dibawah pengawasan dokter hewan berwenang di bidang pengawasan kesehatan
masyarakat veteriner.
RPH, di
samping sebagai sarana produksi daging juga berfungsi sebagai instansi
pelayanan masyarakat yaitu untuk menghasilkan komoditas daging yang sehat, aman
dan halal (sah). Umumnya RPH merupakan instansi Pemerintah. Namun perusahaan
swasta diizinkan mengoperasikan RPH khusus untuk kepentingan perusahaannya,
asalkan memenuhi persyaratan teknis yang diperlukan dan sesuai dengan peraturan
Pemerintah yang berlaku.
Pembangunan
RPH harus memenuhi ketentuan atau standar lokasi, bangunan, sarana dan
fasilitas teknis, sanitasi dan higiene, serta ketentuan lain yang berlaku.
Sanitasi dan higiene menjadi persyaratan vital dalam bangunan, pengelolaan dan
operasi RPH. Beberapa persyaratan RPH secara umum adalah merupakan tempat atau
bangunan khusus untuk pemotongan hewan yang dilengkapi dengan atap, lantai dan
dinding, memiliki tempat atau kandang untuk menampung hewan untuk
diistirahatkan dan dilakukan pemeriksaan ante mortem sebelum pemotongan.
Syarat penting lainnya memiliki persediaan air bersih yang cukup, cahaya yang
cukup, meja atau alat penggantung daging agar daging tidak bersentuhan dengan
lantai. Untuk menampung limbah hasil pemotongan diperlukan saluran pembuangan
yang cukup baik, sehingga lantai tidak digenangi air buangan atau air bekas
cucian.
Acuan
tentang Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dan tatacara pemotongan yang baik dan
halal di Indonesia sampai saat ini adalah Standar Nasional Indonesia (SNI)
01-6159-1999 tentang Rumah Pemotongan Hewan berisi beberapa persyaratan yang
berkaitan dengan RPH termasuk persyaratan lokasi, sarana, bangunan dan tata
letak sehingga keberadaan RPH tidak menimbulkan ganguan berupa polusi udara dan
limbah buangan yang dihasilkan tidak mengganggu masyarakat.
B.
Prosedur Pemotongan Hewan
Daging
adalah salah satu pangan asal hewan yang mengandung zat gizi yang sangat baik
untuk kesehatan dan pertumbuhan manusia, serta sangat baik sebagai media
pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim yang
dapat mengurai/memecah beberapa komponen gizi (protein, lemak) yang akhirnya
menyebabkan pembusukan daging. Oleh sebab itu, daging dikategorikan sebagai
pangan yang mudah rusak (perishable food).
Salah satu
tahap yang sangat menentukan kualitas dan keamanan daging dalam mata rantai
penyediaan daging adalah tahap di rumah pemotongan hewan (RPH). Di RPH ini
hewan disembelih dan terjadi perubahan (konversi) dari otot (hewan hidup) ke
daging, serta dapat terjadi pencemaran mikroorganisme terhadap daging, terutama
pada tahap eviserasi (pengeluaran jeroan).
Penanganan
hewan dan daging di RPH yang kurang baik dan tidak higienis akan berdampak
terhadap kehalalan, mutu dan keamanan daging yang dihasilkan dan akan berdampak
pada kesehatan masyarakat. Di dalam Undang-Undang Peternakan dan
kesehatan Hewan Bab I Pasal 1 ayat 38 disebutkan bahwa Kesehatan masyarakat
veteriner adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan produk hewan yang
secara langsung atau tidak langsung memengaruhi kesehatan manusia. Oleh sebab
itu, penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan di RPH sangatlah
penting, atau dapat dikatakan pula sebagai penerapan sistem produk safety pada
RPH. Aspek yang perlu diperhatikan dalam sistem tersebut adalah higiene,
sanitasi, kehalalan, dan kesejahteraan hewan.
Sembelih
atau pemnyembelihan hewan adalah suatu aktifitas, pekerjaan atau kegiatan
menghilangkan nyawa hewan atau binatang dengan memakai alat bantu atau benda
yang tajam ke arah urat leher saluran pernafasan dan pencernaan. Agar binatang
yang disembelih halal dan boleh dimakan, penyembelihan hewan harus sesuai
dengan aturan agama islam. Jika binatang yang mau disembelih masuk ke lubang
yang sulit dijangkau maka diperbolehkan melukai bagian mana saja asalkan
mematikan binatang tersebut sedangkan yang dimaksud dengan Prosedur Standar
Operasi Pemotongan Sapi adalah alur proses untuk memproduksi daging sapi yang
Aman, Sehat, Umum dan dan Halal (ASUH) baik menggunakan alat dan mesin
peternakan yang modern ataupun yang tradisional seperti yang tercantum dalam
Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab I Pasal 1 ayat 40
dan Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan Bab IV Bagian ketiga Pasal 24
ayat (1) yaitu:
- Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab I Pasal 1 ayat 40 .
Alat dan
mesin peternakan adalah semua peralatan yang digunakan berkaitan dengan
kegiatan peternakan dan kesehatan hewan, baik yang dioperasikan dengan motor
penggerak maupun tanpa motor penggerak.
2.
Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan Bab IV Bagian ketiga Pasal 24 ayat
(1)
(1). Pemerintah
menetapkan jenis dan standar alat dan mesin peternakan yang peredarannya perlu
diawasi.
Alat-alat
benda tajam dan tumpul yang tidak diperbolehkan untuk penyembelihan /
pemotongan hewan : gigi, kuku, tulang, listrik/disetrum, benda tumpul untuk
memukul, panahan/busur dana anak panah, boomerang, sumpit, gada, palu, martil,
dan lain-lain.
Pada proses
pemotongan ternak di Indonesia harus benar-benar memperhatikan hukum-hukum
agama Islam, karena ada kewajiban menjaga ketentraman batin masyarakat. Pada
pelaksanaannya ada 2 cara yang digunakan di Indonesia, yaitu :
a). Tanpa
“Pemingsanan”
Cara ini
banyak dilakukan di Rumah-rumah Potong tradisional. Penyembelihan dengan cara
ini ternak direbahkan secara paksa denganmenggunakkan tali temali yang
diikatkan pada kaki-kaki ternak yangdihubungkan dengan ring-ring besi yang
tertanam pada lantai Rumah Potong, dengan menarik tali-tali ini ternak akan
rebah. Pada penyembelihandengan sistem ini diperlukan waktu kurang lebih 3
menit untuk mengikat dan merobohkan ternak. Pada saat ternak roboh akan
menimbulkan rasa sakit karena ternak masih dalam keadaan sadar.
b).
Dengan Pemingsanan
Di Rumah
Potong Hewan yang besar dan modern, sebelum ternak dipotong terlebih dahulu
dilakukan “pemingsanan”, maksudnya agar ternak tidak menderita dan aman bagi
yang memotong.
Gambar 1. Cara Pemingsanan Ternak dengan Penembakan
Pen
Gambar 2. Prosedur pelayanan pemotongan di RPH
Gambar 3. Pemotongan hewan secara tradisional
Gambar 4. Pemotongan hewan secara modern
Pemotongan
dilakukan pada ternak dalam keadaan posisi rebah, kepalanya diarahkan ke arah
kiblat dan dengan menyebut nama Allah, ternak tersebut dipotong dengan
menggunakan pisau yang tajam. Pemotongan dilakukan pada leher bagian bawah,
sehingga tenggorokan, vena yugularis dan arteri carotis terpotong.
Menurut Ressang (1962) hewan yang dipotong baru dianggap mati bila
pergerakan-pergerakan anggota tubuhnya dan lain-lain bagian berhenti. Oleh
karena itu setelah ternak tidak bergerak lagi leher dipotong dan kepala dipi-sahkan
dari badan pada sendi Occipitoatlantis. Pada pemotongan tradisional, pemotongan
dilakukan pada ternak yang masih sadar dan dengan cara seperti ini tidak selalu
efektif untuk menimbulkan kematian dengan cepat, karena kematian baru terjadi
setelah 3-4 menit. Dalam waktu tersebut merupakan penderitaan bagi ternak, dan
tidak jarang ditemukan kasus bahwa dalam waktu tersebut ternak berontak dan
bangkit setelah disembelih. Oleh karena itu pengikatan harus benarbenar baik
dan kuat. Cara penyembelihan seperti ini dianggap kurang
berperikemanusiaan.Waktu yang diperlukan secara keseluruhan lebih lama
dibandingkan dengan cara pemotongan yang menggunakan pemingsanan. Dengan adanya
perbedaan dalam cara penyembelihan tersebut, pihak australia menuduh Indonesia
melakukan tindak kekerasan terhadap hewan yang akan dipotong padahal Indonesia
mempunyai standar dan cara yang sudah ditetapkan menurut Islam dan
Undang-Undang.
Undang-Undang
yang mengatur dalam hal perlakuan terhadap ternak ini antara lain:
- UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab I Pasal 1 ayat 42.
Kesejahteraan
hewan adalah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental
hewan menurut ukuran perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan
untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap
hewan yang damanfaatkan manusia.
2. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab II Pasal 3
huruf a.
Pengaturan
penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan bertujuan untuk:
- Mengelola sumber daya hewan secara bermartabat, bertangung jawab, dan berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
- UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab IV Bagian Kesatu Pasal 18 ayat (1) dan (2).
(1)
Dalam rangka mencukupi ketersediaan bibit, ternak ruminansia betina produktif
diseleksi untuk pemuliaan, sedangkan ternak ruminansia betina tidak produktif
disingkirkan untuk dijadikan ternak potong.
(2)
Ternak ruminansia betina produktif dilarang disembelih karena merupakan
penghasil ternak yang baik, kecuali untuk keperluan penelitian, pemuliaan, atau
pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan.
3. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab IV Bagian keempat
Pasal 34.
(1)
Peternak dan perusahaan peternakan melakukan tata cara panen yang baik untuk mendapatkan
hasil produksi dengan jumlah dan mutu yang tinggi.
(2)
Pelaksanaan panen hasil budi daya harus mengikuti syarat kesehatan hewan,
keamanan hayati, dan kaidah agama, etika, serta estetika.
4. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab VI Bagian
kesatu Pasal 56.
Kesehatan
masyarakat veteriner merupakan penyelenggaraan kesehatan hewan dalam bentuk:
- Pengendalian dan penanggulangan zoonosis;
- Penjaminan keamanan, kesehatan, keutuhan, dan kehalalan produk hewan;
- Penjaminan higiene dan sanitasi;
- Penegmbangan kedokteran perbandingan; dan
- Penanganan bencana.
5. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab VI Bagian kesatu
Pasal 58.
(1)
Dalam rangka menjamin produk hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal,
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya melaksanakan pengawasan,
pemeriksaan, pegujian, standardisasi, sertifikasi, dan registrasi produk hewan.
(2)
Prngawasan dan pemeriksaan produk hewan berturut-turut dilakukan ditempat
produksi, pada waktu pemotongan, penampungan, dan pengumpulan, pada waktu dalam
keadaan segar, sebelum pengawetan, dan pada waktu peredaran setelah pengawetan.
(3)
Standardisasi, sertifikasi, dan registrasi produk hewan dilakukan terhadap
produk hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia untuk diedarkan dan/atau dikeluarkan dari wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(4)
Produk hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia untuk diedarkan wajib disertai sertifikat veteriner dan
sertifikat halal.
(5)
Produk hewan yang dikeluarkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal jika dipersyaratkan
oleh negara pengimpor.
(6)
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat
(5) diatur dengan Peraturan Menteri.
(7)
Untuk pangan olahan asal hewan, selain wajib memenuhi ketentuan sabagaimana
dimaksud pada ayat (5) wajib memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang pangan.
6. UU
Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab VI Bagian kesatu Pasal 61.
(1)
Pemotongan hewan yang dagingnya diedarkan harus:
- dilakukan di rumah potong; dan
- mengikuti cara penyembelihan yang memenuhi kaidah kesehatan masyarakat veteriner dan kesejahteraan hewan.
(2)
Dalam rangka menjamin ketenteraman batin masyarakat, pemotongan hewan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memerhatikan kaidah agama dan
unsur kepercayaan yang dianut masyarakat.
(3)
Menteri menetapkan persyaratan rumah potong dan tata cara pemotongan hewan yang
baik.
(4)
Ketentuan mengenai pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dikecualikan bagi pemotongan untuk kepentingan hari besar keagamaan, upacara
adat, dan pemotongan darurat.
7. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab VI Bagian kedua
Pasal 66.
(1)
Untuk kepentingan kesejahteraan hewan dilakukan tindakan yang berkaitan
dengan penangkapan dan penanganan; penempatan dan pengandangan; pemeliharaan
dan perawatan; pengangkutan; pemotongan dan pembunuhan; serta perlakuan dan
pengayoman yang wajar terhadap hewan.
(2)
Ketentuan mengenai kesejahteraan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara manusiawi yang meliputi:
- penangkapan dan penanganan satwa dari habitatnya harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang konservasi;
- penempatan dan pengandangan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga memungkinkan hewan dapat mengekspresikan perilaku alaminya;
- pemeliharaan, pengamanan, perawatan, dan pengayoman hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa lapr dan haus, rasa sakit, penganiayaan dan penyalahgunaan, serta rasa takut dan tertekan;
- pengangkutan hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa takut, dan tertekan serta bebas dari penganiayaan;
- penggunaan dan pemanfaatan hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari penganiayaan dan penyalahgunaan;
- pemotongan dan pembunuhan hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa sakit, rasa takut, dan tertekan, penganiayaan, dan penyalahgunaan; dan
- perlakuan terhadap hewan harus dihindari dari tindakan penganiayaan dan penyalahgunaan.
(3)
Ketentuan yang berkaitan dengan penyelenggaraan kesejahteraan hewan
diberlakukan bagi semua jenis hewan bertulang belakang dan sebagian dari hewan
yang tidak bertulang belakang yang dapat merasa sakit.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kesejahteraan hewan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
8. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab VI Bagian
kedua Pasal 67.
Penyelenggaraan
kesejahteraan hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah Daerah bersama masyarakat
Syarat Sah
Penyembelihan hewan :
- Hewan
tidak haram dimakan (anjing, hyena, kucing, babi, dan lain sebagainya) Binatang
masih hidup atau bukan bangka
- Disembelih
secara islam dan menyebut nama Allah SWT
-
Penyembelihan sengaja dilakukan secara sadar
Kondisi Aman
dan Sehat, dapat dilakukan dengan cara memeriksa kesehatan sapi pada :
- Awal Proses pemotongan (ante mortem), untuk memeriksa penyakit-penyakit yang menular.
- Akhir proses pemotongan (post mortem),yaitu pemeriksaan kesehatan daging untuk mengetahui kandungan bakteri/bakteri/ parasit dan kelainan patologis yang membahayakan kesehatan atau yang menyebabkan daging sapi tidak layak lagi untuk dikonsumsi.
Sedangkan
halal, adalah cara memotong sapi dengan disertai doa dan prosedur yang sesuai
dengan ketentuan agama Islam serta di sembelih oleh seorang Muslim. Untuk
memenuhi persyaratan ASUH, proses pemotongan sapi harus dilakukan
melalui prosedur dan tahap-tahap proses yang baku (standar). Standar dan
prosedur operasi (S.O.P) pemotongan sapi yang telah ditetapkan oleh
pemerintah adalah sbb:
- Mengistirahatkan sapi (rekondisi) yang akan dipotong minimal + 8 jam.
- Pemeriksaan sebelum proses penyembelihan (ante mortem) oleh petugas yang berkepentingan.
- Sapi dimasukan ke ruang pemotongan yang telah memenuhi persyaratan higienis dan sanitasi.
- Sesuai standar Halal, sapi direbahkan mengarah kiblat.
- Sapi dibersihkan dari segala kotoran yang melekat di badannya.
- Dilakukan proses pemotongan.
- Didiamkan beberapa saaat hingga darah betul-betul tiris/ habis, kemudian daging dimatangkan (aging), dengan cara menyimpannya pada suhu kamar (27 – 300C) selama 24 – 48 jam atau pada suhu pendinginan (10 -150C) selama 5 – 7 hari. Hal ini dilakukan karena setelah proses pemotongan, karkas (daging)nya akan mengalami rigor mortis, yaitu pengerasan dan peng-kakuan daging akibat terjadinya kekejangan (kontraksi) urat daging. Daging demikian jika dimasak akan menghasilkan hidangan daging yang keras dimakan. Penyimpanan karkas, di samping untuk pematangan daging juga bertujuan untuk persediaan bahan mentah (stock) dan untuk menunggu angkutan atau pemasaran.
- Proses pemisahan kepala dari badan.
- Proses pengulitan.
- Pemeriksaan kesehatan daging.
- Pemisahan daging, organ dalam, jeroan di ruang yang sudah ditentukan.
- Pemeriksaan post mortem oleh petugas keur master, jika produk daging dinyatakan sehat dengan stempel khusus, boleh dipasarkan dan didistribusikan.
Dengan
adanya aturan pemerintah yang tercantum didalam Undang-Undang dan prosedur pemotongan
hewan yang benar diharapkan semua RPH ataupun perusahaan peternakan skala kecil
bisa mengetahui dan menerapkan bagaimana cara memotong hewan yang benar
sehingga terjamin kesejahteraan bagi masyarakat dan hewan.
C.
Solusi Pemerintah dan Sanksi
Pemerintah
mempunyai kewenangan terhadap perlindungan peternak, perusahaan peternakan,
hewan ternak dan konsumen sehingga semua aspek yang ada didalamnya mendapatkan
kesejahteraan. Guna mendapatkan jaminan kesejahteraan tersebut pemerintah
mengatur kewenangan tersebut dalam Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan
Tahun 2009 Bab VI Pasal 63, 64 yang berbunyi:
- UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab VI Pasal 63.
(1)
Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya wajib menyelenggarakan
penjaminan higiene dan sanitasi.
(2)
Untuk mewujudkan higiene dan sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan:
- pengawasan, inspeksi, dan audit terhadap tempat produksi, rumah pemotongan hewan, tempat pemerahan, tempat penyimpanan, tempat pengolahan, dan tempat penjualan atau penjajaan serta alat dan mesin produk hewan;
- surveilans terhadap residu obat hewan, cemaran mikroba, dan/atau cemaran kimia; dan
- pembinaan terhadap orang yang terlibat secara langsung dengan aktivitas tersebut.
(3)
Kegiatan higiene dan sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
dokter hewan berwenang di bidang kesehatan masyarakat veteriner.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai higiene dan sanitasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
2. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab VI Pasal 64.
Pemerintah
dan pemerintah daerah mengantisipasi ancaman terhadap kesehatan masyarakat yang
ditimbulkan oleh hewan dan/atau perubahan lingkungan sebagai dampak bencana
alam yang memerlukan kesiagaan dan cara penanggulangan terhadap zoonosis,
masalah higiene, dan sanitasi lingkungan.
Pemerintah
saat ini sedang memfinalisasi kebijakan untuk perbaikan dan penyempurnaan
berbagai peraturan yang terkait dengan mata rantai pasokan ternak serta Rumah
Potong Hewan (RPH) di Indonesia. Hal ini sebagai reaksi dari isu penyiksaan
sapi Australia sebelum di sembelih di sejumlah RPH di Indonesia. Upaya ini
merupakan komitmen pemerintah dalam menindaklanjuti semua peraturan perundangan
yang terkait dengan aspek kesehatan, agama dan kesejahteraan hewan yang telah
sesuai dengan ketentuan badan kesehatan hewan dunia (OIE), dimana Indonesia
adalah anggotanya.
Saat ini
beberapa RPH di Indonesia telah memiliki sertifikasi mutu yang dilakukan oleh
pihak ketiga yang independen. Namun sertifikasi mutu belum mencakup prinsip
kesejahteraan hewan secara keseluruhan di setiap rantai pasokannya (supply
chain). Berdasarkan kondisi tersebut dan guna menjamin ketersediaan pasokan
daging sapi dan keterjangkauan harga, terdapat beberapa solusi yang diputuskan
oleh Pemerintah Indonesia saat ini, yang terbagi menjadi tiga solusi.
Solusi
pertama, yaitu solusi jangka pendek, mengembangkan pedoman kesejahteraan hewan
dengan mengacu pada standar dan ketentuan yang berlaku di Indonesia, termasuk
untuk peraturan dalam hal kebersihan, sanitasi, maupun jaminan halal; menyusun
daftar RPH yang sudah menerapkan prinsip kesejahteraan hewan dan peraturan yang
lain maupun daftar RPH yang harus ditingkatkan pengelolaannya. Kemudian
mengevaluasi RPH yang memenuhi syarat berdasarkan penilaian auditor independen
internasional; membuka impor secara bertahap yang ditujukan kepada RPH yang
telah siap menerapkan prinsip kesejahteraan hewan, dan bagi yang belum memenuhi
syarat masih mempunyai waktu setidaknya enam bulan untuk memenuhi persyaratan
impor khususnya sertifikasi dari RPH yang memenuhi standar; segera menerbitkan
Peraturan Menteri (Menteri Perdagangan dan Menteri Pertanian) tentang Ketentuan
Impor dan Ekspor Hewan dan Produk sesuai dengan amanah UU no 18 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan; menerbitkan peraturan (dari) tentang ekspor dan
impor hewan dan produk hewan.
Solusi
kedua, yaitu solusi jangka menengah evaluasi atas cetak biru/blueprint program
dan rencana aksi Program Swasembada Daging dikoordinasikan Kemenko Perekonomian
dengan penanggung jawab utama adalah Kementan; rencana Aksi Program Swasembada
Daging yang disepakati agar dapat selesai dalam satu sampai tiga bulan ke
depan sehingga kepastian langkah Pemerintah dan Daerah dalam alokasi APBN/APBD
2012-1014, dan memberi arah yang jelas bagi stakeholder lain.
Solusi
ketiga, solusi jangka panjang, melengkapi regulasi yang sudah ada dengan
petunjuk teknis pelaksanaan; merevisi SNI tentang RPH karena sudah lebih dari
lima tahun; menyusun SNI tentang Pedoman Kesejahteraan Hewan di RPH dan seluruh
rantai pasok; memperkuat inspeksi dan surveillance; melakukan kerja sama
internasional dalam meningkatkan capacity building dan infrastruktur supply
chain kesejahteraan hewan.
Untuk
menindaklanjuti dari solusi yang diberikan oleh pemerintah, diterapkannya juga
sanksi-sanksi yang akan menjerat peternak yang mengabaikan peringatan
pemerintah. Sanksi tegas diatur dan ditetapkan di dalam Undang-Undang
Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab XII Pasal 85, Bab XIII Pasal 86
yang berbunyi sebagai berikut:
- UU Peternakanan dan Kesehatan Hewan Bab XII Pasal 85.
(1)
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1), Pasal 11 ayat (1), Pasal 13 ayat (4), Pasal 15 ayat (3), Pasal 18 ayat
(2), Pasal 19 ayat (1), Pasal 22 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 23, Pasal
24 ayat (2), Pasal 25 ayat (1), Pasal 29 ayat (3), Pasal 42 ayat (5), Pasal 45
ayat (1), Pasal 47 ayat (2) atau ayat (3), Pasal 50 ayat (3), Pasal 51 ayat
(2), Pasal 52 ayat (1), Pasal 54 ayat (3), Pasal 58 ayat (5), Pasal 59 ayat
(2), Pasal 61 ayat (1) aatau ayat (2), Pasal 62 ayat (2) atau ayat (3), Pasal
69 ayat (2), dan Pasal 72 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(2)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
- peringatan secara tertulis;
- penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran; alat dan mesin, atau produk hewan dari peredaran;
- pencabutan izin; atau
- pengenaan denda.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
(4)
Besarnya denda sebagimana dimaksud pada huruf e dikenakan kepada setiap orang
yang:
- menyembelih ternak ruminansia kecil betina produktif paling sedikit sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah);
- menyembelih ternak ruminansia besar betina produktif paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp 25.000.000,00(dua puluh lima juta rupiah); dan
- melanggar selain sebagaimana dimaksud pada huruf adan huruf b paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(5)
Besarnya denda sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditambah 1/3 (sepertiga) dari
denda tersebut jika pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh pejabat yang berwenang atau korporasi.
2. UU Peternakanan dan Kesehatan Hewan Bab XIII Pasal 86.
Setiap orang
yang menyembelih:
- ternak ruminansia kecil betina produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah); dan
- ternak ruminansia besar betian produktif sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling sedikit 3 (tiga) bulan dan paling lama 9 (sembilan) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
yang tahun 2014 apakah sudah ada..???
BalasHapusI like fuck
BalasHapusNot hiumen
BalasHapusK****l
BalasHapus